Opini

Menolak Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto adalah Kewajiban Ideologis bagi Marhaenis

Menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya mengaburkan sejarah, melainkan pengkhianatan langsung terhadap jiwa dan semangat.

Editor: Teddy Malaka
Ist
Deodatus Sunda Se, Direktur Institut Marhaenisme 27 

Oleh: Deodatus Sunda Se (Direktur Institut Marhaenisme 27)

WACANA pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto yang beberapa waktu belakangan ini muncul kembali secara masif tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, dalam artian wacana ini harus dilihat sebagai pertarungan memori, narasi, dan yang paling mendasar, sebuah bentrokan ideologis tentang makna sejati dari apa itu kepahlawanan Indonesia. dengan dalih stabilitas politik dan pertumbuhan ekonom dan “Pembangunan” yang dicapai selama tiga dekade, beberapa pihak mendukung wacana ini.

Namun, bagi seseorang yang mengaku dirinya marhaenis–mereka yang mengamalkan marhaenisme yang merupakan ideologi yang digali Soekarno dari kenyataan pahit kehidupan rakyat jelata, si Marhaen. Penolakan terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto ini adalah sebuah keharusan sebuah imperatif ideologis yang tidak bisa ditawar. 

Menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya mengaburkan sejarah, melainkan pengkhianatan langsung terhadap jiwa dan semangat api perjuangan Marhaenisme itu sendiri.

Orde baru merupakan bentuk nyata pengingkaran terhadap penderitaan jutaan Marhaen yang justru menjadi korban dari mesin negara represi yang dibangunnya. Untuk memahami penolakan ini, kita harus menyelami kedalaman dosa-dosa rezim Orde Baru dan membandingkannya dengan fundamen etis Marhaenisme, yang berdiri di atas tiga pilar: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Secara nyata tentu kita memahami bahwa marhaenisme itu adalah keberpihakan, Marhaenisme, dalam visi Soekarno, adalah antitesis dari penindasan baik oleh kapitalisme, imperialisme, maupun feodalisme.

Ia lahir dari perjumpaan dengan seorang petani miskin bernama Marhaen, yang mewakili realitas mayoritas bangsa Indonesia: rakyat kecil yang memiliki alat produksi sederhana namun hidup dalam belenggu kemiskinan struktural. sehingga marhaenisme dapat diartikan sebagai sosialisme ala Indonesia yang bertujuan membebaskan si Marhaen:petani kecil, buruh, pedagang kecil, nelayan dari segala bentuk eksploitasi, baik oleh kaum imperialis internasional, kapitalisme dalam negeri, maupun sisa-sisa feodalisme.

Cita-citanya adalah terwujudnya masyarakat sosialisme Indonesia yang didalamnya;berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Dengan fondasi ini, setiap kebijakan dan tindakan penguasa harus diukur dari satu parameter utama: apakah ia memuliakan atau meminggirkan Marhaen? Melalui lensa inilah rezim orde baru Soeharto harus dinilai, dan hasilnya adalah sebuah catatan kelam yang penuh dengan pengkhianatan.

Dosa pertama dan paling mendasar Soeharto adalah pembunuhan terhadap sosio-demokrasi, baik dalam politik maupun ekonomi. Demokrasi pada masa Orde Baru tidak lebih dari sekadar alat legitimasi kekuasaan, bukan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Pemilu diubah menjadi ritual formalitas yang menutupi dominasi Golkar dan militer, sementara kebebasan berserikat dan berpikir dibungkam atas nama stabilitas nasional.

Rakyat kecil, kaum Marhaen yang seharusnya menjadi subjek politik, justru disingkirkan dari ruang partisipasi. Negara kehilangan peran sebagai alat pembebasan, berubah menjadi instrumen dominasi yang memastikan rakyat tetap tunduk dan terpinggirkan.

Namun pembunuhan sosio-demokrasi yang paling nyata terjadi di bidang ekonomi. Orde Baru membangun sistem kapitalisme kroni, di mana akumulasi kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang bersekongkol dengan birokrasi dan militer.

Ekonomi rakyat disingkirkan, tanah dirampas, dan buruh dijadikan alat produksi murah bagi kepentingan modal besar. Ironisnya, warisan kapitalisme kroni ini terus hidup hingga kini, tampak jelas dalam sepuluh tahun pemerintahan Jokowi yang memperkuat oligarki dan menormalisasi ketimpangan struktural melalui proyek-proyek infrastruktur yang berpihak pada korporasi besar.

Pemerintahan Prabowo-Gibran melanjutkan semangat yang sama, dengan retorika pembangunan yang mengulang logika lama: pertumbuhan ekonomi di atas penderitaan rakyat kecil. Dalam konteks ini, Soeharto bukan sekadar sosok masa lalu, melainkan simbol dari kontinuitas pengkhianatan terhadap cita-cita sosio-demokrasi yang memuliakan Marhaen.

Pengkhianatan Soeharto terhadap sosio-nasionalisme tidak hanya terjadi karena keterbukaannya terhadap modal asing, tetapi karena ia mengubah makna nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme yang dirumuskan Soekarno adalah nasionalisme yang hidup dan membebaskan, yang menempatkan rakyat sebagai subjek sejarah dan menolak segala bentuk penjajahan, baik dari luar maupun dari dalam negeri.

Dalam visi itu, kebangsaan berarti solidaritas sosial dan tanggung jawab kolektif untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Namun di tangan Soeharto, nasionalisme direduksi menjadi alat legitimasi kekuasaan dan retorika pembangunan yang menutupi ketimpangan. Ia menukar semangat perjuangan menjadi kepatuhan terhadap negara yang diklaim sebagai satu-satunya penjaga stabilitas.

Sumber: Pos Belitung
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved