Kasus Pembunuhan Hafiza

Kasus Pembunuhan Hafiza, Praktisi Hukum Ungkap Sisi Dilematis Penegakan Hukum terhadap Pelaku

Praktisi hukum Babel, David Wijaya, mengakui kasus pembunuhan Hafiza (8) yang dilakukan oleh AC (17) menyita perhatian masyarakat luas.

Penulis: Sepri Sumartono | Editor: Novita
Bangkapos/Riki Pratama
Kapolda Bangka Belitung, Irjen Pol Yan Sultra, Indrajaya menggelar konfrensi pers pengungkapan kasus pembunuhan Hafiza di Mapolda Babel pada Kamis (16/3/2023) siang. 

POSBELITUNG.CO, BANGKA - Kasus pembunuhan Hafiza (8) di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menggemparkan nasyarakat banyak.

Anak perempuan yang sebelumnya sempat dikabarkan hilang itu, ditemukan dalam kondisi tak bernyawa ditemukan di perkebunan sawit Bukit Intan Bine Blok S47-48 Divisi 3 PT BPL Desa Ibul, Simpangteritip, dengan tangan, kaki terikat dan badan dalam kondisi hancur pada Kamis (9/3/2023) lalu.

Pelakunya berinisial AC (17), yang dilatarbelakangi motif ingin mendapat uang dari keluarga korban.

Praktisi hukum Bangka Belitung, David Wijaya mengakui kasus pembunuhan Hafiza (8) yang dilakukan oleh AC (17) di Kabupaten Bangka Barat, memang menyita perhatian masyarakat luas sekaligus mengutuk perbuatan keji tersebut.

Menurut David Wijaya, selayaknya penegakan hukum dilakukan secara komprehensif dan khusus dengan mengingat baik korban maupun tersangka, sama-sama masuk kategori anak.

Kenyataan itu merujuk pada aturan hukum khususnya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.

Terlebih lagi, dalam proses hukumnya akan merujuk aturan khusus pula yakni, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

David Wijaya mengamati, perkembangan terkini dengan maraknya anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum, telah menimbulkan sikap apriori dan pesimistis dalam masyarakat.

"Jika nantinya terhadap proses hukum yang melibatkan pelakunya adalah anak, maka hukuman akan ringan atau tidak sebanding dengan perbuatannya," kata David Wijaya, Kamis (16/3/2023).

Sehingga, kemudian timbul pertanyaan masyarakat bagaimana nantinya penegakan hukum terhadap perbuatan AC yang dikategorikan sebagai anak, namun dari segi perbuatannya menurut etika dan moral serta aturan hukum sudah begitu keji, di luar batas kemanusiaan.

Baca juga: Kasus Pembunuhan Hafiza, Polisi Ungkap Korban Sempat Titipkan Mainan Ini Sebelum Pergi

Sebenarnya, menurut David Wijaya, terkait hal tersebut sudah ada aturannya. Yaitu, dulu Mahkamah Konstitusi telah mempunyai sikap dan menjadi norma hukum yang memutuskan batas usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.

"Dengan pertimbangan hukum bahwa anak secara psikologi pada umur tersebut sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil, sehingga tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya," jelasnya.

Ada juga UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan anak dapat dipidana apabila sudah berumur 14-18 tahun dengan maksud pidana tersebut sebagai upaya akhir.

Maka, terhadap AC, selaku anak yang menjadi tersangka atau berkonflik dengan hukum, dapat dimintai pertanggungjawaban hukumnya.

"Apakah hukumannya nanti akan ringan, berat atau maksimal, itu tergantung pada konstruksi hukum, alat bukti, dan penerapan aturan hukumnya dari penyidik kepolisian," ungkapnya.

Jika penyidik mempunyai bukti kuat adanya perencanaan terlebih dahulu, yang kemudian sebagai akibat dari perencanaan dan perbuatan lainnya tersebut menimbulkan kematian terhadap korban, maka pasal yang diterapkan tentunya ancaman hukuman paling berat atau maksimal.

Baca juga: Polisi Tunggu Hasil Autopsi Jenazah Hafiza, Terungkap Pelaku Beraktivitas Biasa Usai Bunuh Korban

Dalam hal ini, David Wijaya menilai, rumusan ancaman hukuman tersebut akan disandingkan dengan ketentuan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyatakan pidana penjara dapat dijatuhkan kepada anak paling lama setengah dari maksimal ancaman pidana bagi orang dewasa.

"Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam pidana mati atau seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah penjara paling lama 10 tahun," jelasnya.

Kemudian, sejauh ini, dalam konteks perkembangan teknologi, yang membuat anak zaman sekarang dapat memiliki pengetahuan dengan cepat melalui sarana teknologi berupa gadget atau komputer, jika tidak diawasi dan diedukasi, maka pengetahuan tadi mengandung suatu hal positif sekaligus negatif.

Misalnya, anak kini cepat berkomunikasi lewat gadget sehingga kekerasan anak antar geng sekolah terasa masif, atau anak mengetahui trik kejahatan dari menonton gadget dan lain-lain.

Oleh karena itu, perkembangan zaman dan teknologi tersebut, selayaknya mendesak untuk diselaraskan penerapannya ke dalam UU Perlindungan Anak dengan cara merevisi mengenai batasan umur anak.

Baca juga: Akademisi Soroti Motif Ekonomi dan Sosio-Psikologis pada Kasus Pembunuhan Hafiza

"Yang menurut saya, batas usia anak yang tadinya dianggap anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun direvisi jadi berbunyi anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun," kata David Wijaya.

"Dengan sudut pandang, rentang usia 15 tahun sampai sebelum 16 tahun, anak sudah akil balig dan rata-rata sudah berpendidikan SMP yang secara psikologis sudah memiliki kecerdasan, sehingga mengetahui hak dan kewajibannya dalam berkehidupan," tambahnya.

Hal tersebut nantinya diharapkan dapat memberikan ketegasan hukum yang selaras dengan perkembangan zaman, yang mendidik dan membuat perilaku anak jadi lebih berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan. Sekaligus memberikan efek jera lebih dini jika terjadi pelanggaran aturan hukum. (Bangkapos.com/Sepri)

Sumber: Bangka Pos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved