Opini
Menolak Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto adalah Kewajiban Ideologis bagi Marhaenis
Menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya mengaburkan sejarah, melainkan pengkhianatan langsung terhadap jiwa dan semangat.
Pancasila yang hidup dan membebaskan diubah menjadi dogma mati yang mengajarkan kepatuhan buta. Tujuan utamanya bukan membangun karakter bangsa, melainkan mencetak rakyat yang patuh, birokrat yang setia, dan intelektual yang jinak.
Dengan cara itu, rezim membangun sistem kepatuhan massal yang mematikan daya kritis, menjadikan kebenaran hanya milik penguasa. Ini bukan sekadar pelanggaran moral atau ideologis, melainkan pengkhianatan terhadap pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Pengkhianatan itu juga merembes dalam bentuk pengaburan sejarah. Buku-buku pelajaran disusun untuk menghapus suara korban dan menyanjung satu nama.
Generasi pasca-1965 diajarkan untuk melihat sejarah bukan sebagai dialektika rakyat, tetapi sebagai narasi tunggal kekuasaan.
Ditambah satu generasi intelektual yang dikirim oleh Soekarno ke berbagai universitas di luar negeri dibuang atau dipaksa hidup di pengasingan para eksil 1965 dihapus dari ingatan nasional, seolah-olah mereka tidak pernah menjadi bagian dari bangsa.
Semua ini adalah proyek besar pemandulan kesadaran: menjauhkan rakyat dari sejarahnya sendiri, agar mereka tidak lagi memiliki dasar untuk melawan.
Dan dosa itu masih bergaung hingga hari ini. Politik dinasti, kooptasi simbol nasionalisme, dan pembungkaman suara kritis atas nama “persatuan” menunjukkan bahwa warisan Orde Baru belum benar-benar mati.
Di bawah Jokowi, dan kini berlanjut di bawah Prabowo-Gibran, semangat yang sama mengemuka kembali: sentralisasi kekuasaan, militerisasi politik, dan kapitalisme kroni yang menempatkan negara sebagai alat patronase bagi segelintir elite.
Rakyat dijadikan objek pembangunan, bukan subjek yang berdaulat. Pancasila kembali diperlakukan sebagai jargon kosong untuk menutupi kesenjangan, sementara UUD 1945 terus ditafsirkan sepihak demi melanggengkan kekuasaan. Bila kita tidak sigap membaca tanda-tandanya, maka pengkhianatan terhadap konstitusi akan kembali terjadi dalam wajah yang lebih modern, lebih rapi, dan lebih berbahaya.
Oleh karena itu, ketika wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto muncul, kita tidak sedang menilai satu individu, melainkan seluruh warisan pengkhianatan terhadap rakyat dan konstitusi.
Memberikan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto itu sama dengan menyatakan bahwa membunuh rakyat, membungkam nalar, dan memanipulasi Pancasila adalah hal yang bisa dimaafkan demi “pembangunan.”
Bagi seorang Marhaenis, ini adalah racun nyata bagi jiwa bangsa. Pahlawan sejati adalah mereka yang mempertahankan kedaulatan rakyat dan kemanusiaan: para petani yang melawan perampasan tanah, buruh yang menuntut upah adil, dan aktivis yang hilang karena menyuarakan kebenaran. Soeharto bukan pahlawan mereka; ia adalah simbol dari apa yang mereka lawan.
Menolak gelar pahlawan nasional bagi Soeharto ini bukan sekadar menolak nama, tetapi menolak amnesia. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap upaya menghapus jejak kejahatan negara dari ingatan kolektif bangsa. Indonesia tidak boleh menjadi bangsa yang melupakan penderitaan rakyatnya demi mitos stabilitas.
Bagi kaum Marhaenis, penolakan ini adalah bentuk kesetiaan pada janji kemerdekaan: bahwa republik ini didirikan untuk membebaskan manusia, bukan menaklukkannya. Atas nama mereka yang dibunuh, yang dibungkam, yang diasingkan, dan yang terus berjuang agar kebenaran tidak terkubur, kita harus bersikap tegas dan tanpa ragu: Soeharto bukan pahlawan!!!
| Cerita, Kepercayaan, dan Jaringan Sosial dalam Ekonomi Thrift di Indonesia |
|
|---|
| PLTN Dalam Asta Cita Presiden Prabowo: Mendorong Thorcon 500 Sebagai PLTN Pertama |
|
|---|
| BAWASLU BEKEMAS Dari Kapasitas Ke Kualitas |
|
|---|
| Keterkaitan Karakteristik Tepi Jalan Terhadap Tingkat Keparahan Kecelakaan |
|
|---|
| SPMB Kabupaten Belitung: Wujud Pelayanan Publik Pendidikan yang Transparan dan Merata |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.