Opini

Menolak Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto adalah Kewajiban Ideologis bagi Marhaenis

Menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya mengaburkan sejarah, melainkan pengkhianatan langsung terhadap jiwa dan semangat.

Editor: Teddy Malaka
Ist
Deodatus Sunda Se, Direktur Institut Marhaenisme 27 

Dalam sistem Orde Baru, negara dijadikan pusat kendali yang menundukkan segala bentuk kemandirian rakyat di bawah dalih persatuan dan pembangunan. Sosio-nasionalisme yang seharusnya tumbuh dari solidaritas antar kelas dan antardaerah diubah menjadi nasionalisme administratif yang sentralistis dan militeristik.

Pembangunan dijalankan bukan sebagai upaya membangkitkan potensi bangsa dari bawah, tetapi sebagai proyek top-down yang menggiring ekonomi nasional bergantung pada utang luar negeri, bantuan teknokrat asing, dan investasi korporasi besar. Produksi nasional tidak diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk akumulasi modal oleh segelintir elite yang bersekongkol dengan negara.

Dengan demikian, pengkhianatan Soeharto terhadap sosio-nasionalisme adalah perampasan makna kebangsaan itu sendiri. Nasionalisme rakyat yang seharusnya menjadi alat emansipasi berubah menjadi nasionalisme semu yang memaksa rakyat tunduk atas nama pembangunan.

Negara digunakan untuk menegakkan kapitalisme kroni, di mana kekayaan nasional diprivatisasi untuk kepentingan keluarga penguasa dan kroni ekonomi.

Dalam sistem semacam ini, semangat kebangsaan kehilangan jiwa sosialnya dan berubah menjadi ideologi pengendalian. Sosio-nasionalisme yang mestinya menjadi dasar persatuan nasional menuju keadilan sosial justru dibunuh dalam sunyi oleh negara.

Dosa-dosa struktural rezim Soeharto diperparah oleh jejak kekerasan dan represi yang menghitam dalam sejarah bangsa. Tragedi 1965–1966 menjadi luka kolektif yang paling dalam dan paling menentukan arah kekuasaan Orde Baru.

Pembantaian terhadap ratusan ribu hingga jutaan rakyat yang dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) bukan hanya menghapus nyawa manusia, tetapi juga membunuh nalar kritis bangsa. 

Korban terbesarnya adalah kaum Marhaen: petani, buruh, seniman, guru, dan rakyat kecil yang sering kali tidak tahu-menahu tentang ideologi, tetapi terseret oleh tuduhan sepihak dan kebencian yang direkayasa.

Mereka dibantai, dipenjara tanpa pengadilan, dan dicap sebagai “tapol” yang kehilangan hak-hak sipil dan politik selama puluhan tahun. Inilah kejahatan kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern, yang dilakukan atau dibiarkan oleh negara, dan menjadi fondasi kekuasaan Orde Baru. Dari tragedi itu lahir negara yang dibangun di atas ketakutan, di mana kekerasan dijadikan dasar stabilitas.

Namun kekerasan itu tidak berhenti di awal kekuasaan. Ia menjadi pola berulang. Tahun 1974, demonstrasi mahasiswa yang menolak dominasi modal asing dan kronisme kekuasaan berujung dalam tragedi Malari, di mana negara menanggapinya dengan represi brutal. Pada dekade 1980-an, penembakan misterius (Petrus) menewaskan ribuan warga tanpa proses hukum, menanamkan rasa takut kolektif yang menembus ruang privat rakyat kecil.

Tragedi Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989 menunjukkan wajah negara yang tak segan membunuh rakyatnya sendiri atas nama ketertiban. Di Timor Leste, Aceh, dan Papua, ribuan orang menjadi korban operasi militer yang diselimuti dalih nasionalisme dan keamanan negara. Menjelang kejatuhannya, peluru kembali dilepaskan ke dada mahasiswa di Trisakti, Semanggi I dan II, serta aksi-aksi yang menuntut reformasi 1998. Sebelum itu, ratusan aktivis pro-demokrasi diculik, disiksa, dan beberapa dari mereka tidak pernah kembali.

Semua itu tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam sistem politik yang sengaja dibuat tertutup dan otoriter.

Melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), Soeharto mematikan ruang politik di universitas, menjadikan kampus sebagai institusi steril dari perdebatan ideologis dan perjuangan rakyat. Pers dibungkam lewat pencabutan SIUPP, partai politik direduksi menjadi tiga, dan seluruh organisasi sosial dipaksa tunduk pada satu ideologi tunggal yang disahkan negara. 

Ruang publik berubah menjadi panggung monolog kekuasaan. Di tengah itu semua, rakyat didorong untuk diam karena diam berarti aman.

Dosa Soeharto selanjutnya adalah bagaimana ia memutarbalikkan Pancasila dan mengkhianati konstitusi UUD 1945. Pancasila, yang seharusnya menjadi jiwa konstitusi dan landasan moral bagi kedaulatan rakyat, justru dijadikan alat legitimasi kekuasaan tunggal. Melalui indoktrinasi P4 dan asas tunggal, negara mengambil alih hak rakyat untuk menafsirkan nilai-nilai konstitusional.

Sumber: Pos Belitung
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved